Sejarah syariat islam di aceh
Islam mulai
bertapak di bumi aceh pada akhir abab pertama Hijriyah. Keberadaan Islam di
Aceh akhirnya membentuk kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yang terletak
di Bandar Khalifah Pereulak. Kerajaan islam ini didirikan pada tanggal 1
Muharram 225 H dengan Syah pertama adalah Sultan Alaiddin Sayid yang beraliran
syi’ah. Kemudian, pada masa sultan keempat yaitu, Sultan Makdhum Alaidain Malik
Abdulkadir syah Jihan berdaulat ( 306-310 H)
aliran Syi’ah itu diganti dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dalam
pengalaman syari’ah diterapkan oleh
Mahzab Imam Syafi’i sebagai pengangan utama. Kemudian, Mazhab Iman Syafi’i juga
diterapkan oleh kerajaan Islam lain di Aceh.
Pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636)
hukum Islam dengan Mazhab Imam Syafi’i diterapkan secara kaffah. Yang meliputi
bidang ibadah, ahwal syakhshiyah, mu’amalah,
maliyah, jinayah, ‘uqubah, murafa’ah, iqtishadiyah, dusturiyah,
akhlaqiyah dan ‘alaqah dauliyah, yang akhirnya dikofidifikasikan menjadi Qanun
al-asyi (Adat Meukuta Alam). Qanun
ini dijadikan sebagai UUD kerajaan[1].
a) syariat islam masa
penjajahan belanda
Pada masa
Belanda, Qanun Al-Asyi diganti dengan hukum buatan sendiri. Hukum produk
Belanda yang tidak berlandaskan ajaran Islam.
Intervensi
Belanda dalam bidang hukum dan peradilan terlihat sangat jelas setelah tahun
1900, karena Belanda menguwasai daerah Aceh secara langsung ataupun tidak
langsung.Larangan pelaksanaan Qishas dan potong tangan pertama sekali terjadi
di Kerajaan Linge (Gayo) yang diberlakukan Belanda pada tahun 1915 dan diganti
dengan memngasingkan para pelaku kejahatan keluar dari wilayah kerajaan linge.
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa hukum pidana
Islam yang pernah dijalankan di Aceh, dihalangi oleh pemberlakuanya oleh belanda.
Larangan ini sangat menyakiti hati masyarakat Aceh yang berkeinginan
mendambakan pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah. Masyarakat Aceh
berkeyakinan bahwa dengan Syariat Allah dapat menempuh hidup yang rukun, damai
dan maju dalam segala bidang.
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah membuat kerajaan Aceh tempo dahulu menjadi kerajaan
terbesar yang diperhitungkan dunia. Syaraiat islam di Aceh tidak hanya
mempersatukan seluruh etnis yang ada di Aceh, tapi juga telah mampu menciptakan
ukhuwah dengan semua suku di Indonesia dan dengan bangsa-bangsa besar lainnya.
b) Syariat Islam Masa Awal Kemerdekaan
Masyarakat Aceh
melawan penjajah penuh kegigihan dan siap untuk mati syahid fi sabilillah.
Semangat ini bukan hanya karena ingin mempertahankan daerah aceh, tapi juga
untuk mempertahankan Syariat agamanya. Perjuangan
ini dinilai berhasil dengan gemilang hingga Indonesia merdeka. Belanda dan
Jepang tidak pernah menjajah wilayah aceh dengan sempurna , sehinng Aceh
disebut daerah modal bagi perjuangan kemerdekaan RI. Kemudian masyakat Aceh
menyumbang 2 buah pesawat terbang, dengan harapan Syariat Islam dapat kembali
diterapkan di Aceh sesuai dengan janji Sukarnoe.
Namun, harapan itu tetap jadi harapan. Sehingga pada
tahun 1953-1959 terjadi peristiwa DI-TII[2].
Peristiwa itu dapat diselesaikan dengan musyawarah yang berakhir dengan
pemberian keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang yaitu, bidang agama,
pendidikan adat dan istiadat. Dalam perjalanannyapun ketiga hal ini tidak
terwujud secara kongkrit. Namun, usaha untuk menerapkan Syariat Islam terus
dilakukan masyarakat Aceh. Bahkan setelah anihilasi uleebalang, Gubenur Sumut memberikan izin kepada residen Aceh untuk
membentuk Mahkamah Syar’iyah melalui surat kawat No. 189 tanggal 13 Januari.
Tetapi, mahkamah ini berisi wewenang menangi perkara-perkara dibidang
kekeluargaan serta warisan [3].
Keadaan ini berlangsung lancar sampai dengan pembubaran Provinsi Aceh pada
tahun 1950. Sehingga mengkibatkan peradilan Agama tidak terurus dan tidak jelas
statusnya. Keadaan ini dipeparah lagi ketika UU No.1 Darurat 1950 dikeluarkan
yang isinya membubarkan semua peradilan swapraja dan meleburkannya kedalam
peradilan negri. Desakan pada pemerintah
agar peradilan Agama di Aceh diberi status yang jelas dan diakui secara resmi
terus dilakukan oleh Pemda, DPRD serta Partai Politik dan Organisasi
kemasyarakatan yang ada di Aceh.
Setelah terbentuknya kembali Provinsi Aceh pada tahun
1956 usu ini semakin gencar diajukan. Panglima KODAM 1 Iskandar Muda pun ikut .
akhirnya pada bulan Agustus 1957 Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No 29 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama di seluruh
Aceh. Serta susunan dan kewenangannya. Pernyataan ini disambut dengan Syukur
dan gembira oleh Aceh. namun, DPRD masi menyampaikan resolusi dan meminta agar
kewenangan badan peradilan pemerintah diperluas dan diperjelas lagi. namun
ekistensi Pengadilan Agama tergantung pada belas kasihan Pengadilan Negeri, ini
terjadi karena putusan Pengadilan Agama
hanya baru dijalankan apabila memperoleh pengukuhan dari pengadilan
Negeri.
Keadaan ini hanya bisa diatasi setelah terjadi
kesepakatan bersampa antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Tinggi Aceh pada
tahun 1969 bahwa setiap permasalahan sengketa perkwinan dan warisan diserahkan
pada Pengadilan Agama, namun pelaksanaannya tetap menjadi kewenangan Peradian
Negeri.
Peraturan Pemerintahan No 29 yang berlaku untuk Aceh
ini selang beberapa bulan kemudian ditukar menjadi peraturan Pemerintahan No 45
dan diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian kesulitan
yang dihadapi Pengdilan Agama di Aceh juga dihadapi oleh seluruh Pengadilan
Agama di Indonesia.
c. Syariat Islam Pada Masa Fatamorgana Keistimewaan
pada tahun 1959 terjadi kesepakatan antara wakil
DI/TII dengan wakil pemerintahan pusat. Menghasilkan keputusan inti Provinsi
Aceh mendapat sebutan baru Daerah Istimewa Aceh dengan otonomi yang
seluas-luasnya dalam lapangan keagamaan, peradatan dan pendidikan. keputusan
menteri itu cenderung tidak efektif di lapangan karena Pemerintah Pusat tidak
mengeluarkan peraturan pelaksanaannya. Bahkan keistimewaan itu terhapuskan oleh
UU tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah UU NO 18 Tahun 1965, karena UU ini
menyamakan otonomi yang diberikan pada Daerah Keistimewaan Aceh dengan otonomi
yang diberikan kepada Semua daerah lainnya Di Indonesia. Dengan demikian
keistimewaan bagi Aceh hanyalah tinggal sekedar sebutan dan pengakuan historis belaka.
Pada masa Orde Baru UU pokok PEMDA diganti dengan UU
Pemerintahan di Daerah, yaitu UU No 5 Tahun 1974. Dalam UU ini stastus
keistimewaan Aceh menjadi lebih tragis lagi karena sama sekali tidak
disebutkan. Masalah Keistimewaan Aceh hanya disebutkan pada pasal 93, yang
intinya adalah Keistimewaan Aceh hanyalah sekedar sebutan bagi Provinsi Aceh.
sedangkan otonomi yang luas disamakan seperti daerah lainnya.
Dengan aturan
ini, otonomi daerah Aceh kelihatan lebih sempit dibandingkan dengan daerah lain,
namun dalam perjalanan sejarahnya, Pemerintah Daerah Istimeaerah Istimewa Aceh
terus mengisi Keistimewaaan Aceh dengan berbagai peraturn daerah.
Dalam rangkaian yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah terdapat sebuah peraturan yang tidak disahkan ole pemerintahan pusat
yaitu, rancangan peraturan daerah mengenai pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh.
Rancangan ini di buat pada tahun 1967 ketika Basuki Rahmat sebagai menteri dalam negri. Sebelum
peraturan ini disahkan Basuki Rahmat telah meninggal dan digantikan oleh Amir
Mahmud. Amir Mahmud lah yang tidak mengesahkan peraturan daerah ini dengan
alasan yang tidak jelas. sehingga membuat masyarakat Aceh kecewa.
d. Syariat Islam Era Reformasi
kekecewaan masyarakat Aceh karena sebagaimana yang disebutkan di atas agaknya dapat diobati
karena ketika tanggal 4 Oktober 1999 Presiden BJ Habibi menandatangani UU
tersebut tentang penyelenggaraan kehidupan keistimewaan aceh, yang meliputi
bidang agama, adat, pendidikan dan peranan ulama.
UU tersebut
merupakan peluang yuridis-formal untuk menerapkan syariat islam, seua yang
diinginkan masyarakat Aceh, sejak Bumi Iskandar diganggu Belanda. Kemudian
Pemda telah mengeluarkan 5 buad perda, yaitu
a)
Perda No. 5 tanggal 14 Juni 2000, tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
b)
Perda No. 4 tanggal 14 Juni 2000, tentang larangan minuman berakohol.
c)
Perda No. 5 tanggal 25 Agustus 2000, tentang pelaksanaan syariat Islam.
d)
Perda No. 6 tanggal 25 Agustus 2000, tentang penyelenggaraan pendidikan.
e)
Perda No. 7 tanggal 25 Agustus 2000, tentang penyelenggaraan kehidupan
adat.
Sementara itu pada tanggal
19 Agustus 2001, Presiden Megawati menandatangani UU No.18 Tahun 2001 yang
dikenal dengan UU Orientasi Khusus NAD yang mengenai membenarkan pembetukan
Mahkamah Syar’iyah. baik di tempat rendah (sagoe),
ataupun tempat tinggi ( Nanggroe)
yang wewenangnya meliputi seluruh bidang peradilan syariat yang berkaitan
dengan peradilan. Kedudukan peradilan tersebut sama dengan tiga saudaranya yang
lain yaitu, peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan administrasiNegara
yang pembinaan judicialnya dilakukan oleh MA[4].
Untuk menerapkan UU
tersebut, sudah ditetapkan perda No 43 tahun 2001 tentang perubahan pertama
atas perda No 3 tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja MPU,
Qanun No 33 Tahun 2001 tentang pembentukan susunan Organisasi dan tatakerja
Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun No 10 tahun 2002
tentang peradilan syariat islam, Qanun No 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan
syariat islam bidang aqidah, ibadah dan syiar islam, dan Qanun No. 23 Tahun
2002 tentang penyelenggaraan pendidikan.[5]
Daftar pusaka
Bantasyam, Saifuddin dkk. Aceh Madani dalam Wacana.Banda Aceh: Aceh Justice Resource
Centre.2009
Sarong,
Hamid,dkk. Makamah Syariah Aceh Lintasan
Sejarah dan eksistensinya. Banda Aceh : Global Education Institute.
Syahrizal ed. Kontektualisasi
Syari’at Islam Di Nanggroe Darussalam. Banda Aceh: Ar-raniry press.
[2] Azymardi Azra, Jaringan
Ulama; Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di
Indonesia, Edisi Revisi.hlm.202
[3] Saifuddin Bantasyam dan
Muhammad siddiq. Aceh Justice Resource Centre : Aceh Madani dalam
Wacana,hlm.39-40
[4] Hamid Sarongdkk.banda
Aceh global education institute: Makamah
Syariah Aceh Lintasan Sejarah dan eksistensinya.hlm55
Comments
Post a Comment